NUNUKAN – Wisatawan
asal Belanda kembali menjadi korban aksi memalukan yang diduga dilakukan
oknum sopir angkutan kota (Angkot), Rabu (29/5). Dari pengakuan sumber
terpercaya media ini, korban yang berangkat dari Tarakan dengan
menumpang speedboat tiba di Pelabuhan Liem Hie Djung sekitar
pukul 12.30 Wita. Dari sini, wisatawan tersebut menumpang angkot menuju
Alun-alun Kota.
Namun, bukannya pelayanan baik yang dia
terima, ia dipaksa membayar sejumlah uang dengan nominal tidak sedikit,
sebut saja Rp 100.000. Ketika, wisatawan tersebut mempertanyakan ongkos
yang diminta, sang sopir menjelaskan uang tersebut tidak hanya ongkos
angkut dari pelabuhan saja, tetapi didalamnya termasuk uang tunggu dan uang barang.
Perdebatan mulut pun tak terelakkan,
hingga akhirnya sang sopir mengancam korban. Tak ingin persoalan
tersebut berlanjut, korban pun akhirnya menyerahkan uang yang diminta
sang sopir.
“Ujungnya dia kena intimidasi sama sopirnya,” kata sumber dengan singkat. Kejadian yang sama juga pernah dialami
Ancu, salah seorang mahasiswa asal Tarakan di tahun lalu. Ia yang tiba
di Pelabuhan Tunon Taka Nunukan menumpang angkot ke Jalan Bhayangkara,
Kelurahan Nunukan Tengah. Setibanya ditempat tujuan, ia diminta membayar
ongkos angkutan sebesar Rp 30.000, kendatai tak banyak barang yang
dibawanya.
Sekretaris Organisasi Angkutan Darat
(Organda), Syamsuddin yang dikonfirmasi mengenai hal ini mengharapkan
bila ada kejadian yang serupa diminta dikoordinasikan. Bila perlu,
laporkan ke pihak berwajib.
“Kami sangat berterima kasih dengan
masukan ini. Kami meminta agar bila terjadi hal seperti itu, mohon
dicatat plat nomornya. Sekarang kan ada nomor angkutan tuh, yah dicatat
aja nomornya, akan kita tindak lanjuti,” tegasnya.
Diakui Syamsuddin, ulah oknum sopir ini
biasanya dilakukan oleh sopir “tembak” alias sopir pengganti. Sopir
tembak biasanya menawarkan jasa kepada sopir tetap atau pemilik mobil. “Biasanya seperti itu. Menurut kami ini
sudah tidak wajar dengan tarif sebesar itu. Dalam kota, tarif itu
sebenarnya telah ditentukan berdasarkan rapat bersama pada kenaikan
Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terakhir, yakni Rp 3.500, namun kita
bulatkan menjadi Rp 4.000. Tarif dalam kota itu menjangkau hingga ke Sei
Bilal, Nunukan Barat dan Sei Sembilan, Nunukan Tengah yang berbatasan
dengan Kelurahan Selisun,” jelasnya.
Syamsuddin juga menjelaskan, ongkos
angkutan yang mahal hanya menjadi kesepakatan antara si sopir dengan
penumpang. Itu pun bila berada di area atau kawasan pelabuhan. “Paling mahal Rp 50.000, itu sudah
pelayanan prima. Itu diangkut dari dalam pelabuhan dan hasil negosiasi,
istilahnya di carter. Bagitu juga misalkan, penumpang yang akan diangkut
ke pelabuhan dari wilayah perkotaan. Kalau jalan ke Sedadap paling
mahal, Rp 10.000,” terangnya
Sementara itu, Muhammad Wahyu, salah
seorang mahasiswa Nunukan melihat hal ini sebagai bukti dari ketidak
siapan sarana wisata di Nunukan. Mulai dari petunjuk jalan-jalan
perkotaan sampai dengan pengaturan angkutan kota. “Ada dua intansi yang beratnggung jawab
dalam hal ini, pertama Dinas Perhubungan dan yang kedua adalah Dinas
Pariwisata. Dishub telah mengelontorkan banyak program, namun hal-hal
seperti ini sepertinya menjadi kelaziman. Yang kedua, pariwisata yang
belum mampu berkaca dengan tempat-tempat lain. Kita masih terbelakang
dalam hal petunjuk wisata. Seharusnya disetiap pelabuhan ditempelkan,
rute wisata, baik itu penginapan, kuliner dan sebagainya, agar para
wisatawan ini mengetahui hal-hal yang sebenarnya hal mendasar,”
imbuhnya
“Tarif angkutan juga harus disertakan
dalam petunjuk wisata itu, bagaimana jika kita menilik seperti Thailand,
Singapura dan Malaysia, mereka punya petunjuk wisata mereka. Jangan
sampai dengan kejadian seperti ini, tingkat kepercayaan wisatawan luar
di Nunukan menurun, akhirnya kita juga yang rugi,” pungkasnya. (cj.rdr)
0 komentar:
Posting Komentar