Jumat, 31 Mei 2013

Oknum Sopir Angkot “Peras” Turis

"Organda Siap Berkoordinasi"

NUNUKAN – Wisatawan asal Belanda kembali menjadi korban aksi memalukan yang diduga dilakukan oknum sopir angkutan kota (Angkot), Rabu (29/5). Dari pengakuan sumber terpercaya media ini, korban yang berangkat dari Tarakan dengan menumpang speedboat tiba di Pelabuhan Liem Hie Djung sekitar pukul 12.30 Wita. Dari sini, wisatawan tersebut menumpang angkot menuju Alun-alun Kota.

Namun, bukannya pelayanan baik yang dia terima, ia dipaksa membayar sejumlah uang dengan nominal tidak sedikit, sebut saja Rp 100.000. Ketika, wisatawan tersebut mempertanyakan ongkos yang diminta, sang sopir menjelaskan uang tersebut tidak hanya ongkos angkut dari pelabuhan saja, tetapi didalamnya termasuk uang tunggu dan uang barang.

Perdebatan mulut  pun tak terelakkan, hingga akhirnya sang sopir mengancam korban. Tak ingin persoalan tersebut berlanjut, korban pun akhirnya menyerahkan uang yang diminta sang sopir.

“Ujungnya dia kena intimidasi sama sopirnya,” kata sumber dengan singkat. Kejadian yang sama juga pernah dialami Ancu, salah seorang mahasiswa asal Tarakan di tahun lalu. Ia yang tiba di Pelabuhan Tunon Taka Nunukan menumpang angkot ke Jalan Bhayangkara, Kelurahan Nunukan Tengah. Setibanya ditempat tujuan, ia diminta membayar ongkos angkutan sebesar Rp 30.000, kendatai tak banyak barang yang dibawanya.

Sekretaris Organisasi Angkutan Darat (Organda), Syamsuddin yang dikonfirmasi mengenai hal ini mengharapkan bila ada kejadian yang serupa diminta dikoordinasikan. Bila perlu, laporkan ke pihak berwajib.

“Kami sangat berterima kasih dengan masukan ini. Kami meminta agar bila terjadi hal seperti itu, mohon dicatat plat nomornya. Sekarang kan ada nomor angkutan tuh, yah dicatat aja nomornya, akan kita tindak lanjuti,” tegasnya.

Diakui Syamsuddin, ulah oknum sopir ini biasanya dilakukan oleh sopir “tembak” alias sopir pengganti. Sopir tembak biasanya menawarkan jasa kepada sopir tetap atau pemilik mobil. “Biasanya seperti itu. Menurut kami ini sudah tidak wajar dengan tarif sebesar itu. Dalam kota, tarif itu sebenarnya telah ditentukan berdasarkan rapat bersama pada kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terakhir, yakni Rp 3.500, namun kita bulatkan menjadi Rp 4.000. Tarif dalam kota itu menjangkau hingga ke Sei Bilal, Nunukan Barat dan Sei Sembilan, Nunukan Tengah yang berbatasan dengan Kelurahan Selisun,” jelasnya. 

Syamsuddin juga menjelaskan, ongkos angkutan yang mahal hanya menjadi kesepakatan antara si sopir dengan penumpang. Itu pun bila berada di area atau kawasan pelabuhan. “Paling mahal Rp 50.000, itu sudah pelayanan prima. Itu diangkut dari dalam pelabuhan dan hasil negosiasi, istilahnya di carter. Bagitu juga misalkan, penumpang yang akan diangkut ke pelabuhan dari wilayah perkotaan. Kalau jalan ke Sedadap paling mahal, Rp 10.000,” terangnya

Sementara itu, Muhammad Wahyu, salah seorang mahasiswa Nunukan melihat hal ini sebagai bukti dari ketidak siapan sarana wisata di Nunukan. Mulai dari petunjuk jalan-jalan perkotaan sampai dengan pengaturan angkutan kota. “Ada dua intansi yang beratnggung jawab dalam hal ini, pertama Dinas Perhubungan dan yang kedua adalah Dinas Pariwisata. Dishub telah mengelontorkan banyak program, namun hal-hal seperti ini sepertinya menjadi kelaziman. Yang kedua, pariwisata yang belum mampu berkaca dengan tempat-tempat lain. Kita masih terbelakang dalam hal petunjuk wisata. Seharusnya disetiap pelabuhan ditempelkan, rute wisata, baik itu penginapan, kuliner dan sebagainya, agar para wisatawan ini mengetahui hal-hal yang sebenarnya hal mendasar,” imbuhnya

“Tarif angkutan juga harus disertakan dalam petunjuk wisata itu, bagaimana jika kita menilik seperti Thailand, Singapura dan Malaysia, mereka punya petunjuk wisata mereka. Jangan sampai dengan kejadian seperti ini, tingkat kepercayaan wisatawan luar di Nunukan menurun, akhirnya kita juga yang rugi,” pungkasnya. (cj.rdr)

0 komentar:

Posting Komentar