Siti, gadis 7 tahun harus berkerja keras dan mengankat beban yang berat |
Tangan kanan menenteng termos, tangan
kiri menenteng ember plastik hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah,
dan peralatan lain. Dengan terseok-seok menenteng beban seberat itu,
Siti harus berjalan keluar masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak
naik. Kalau ada pembeli, Siti akan meracik baksonya di mangkok yang
diletakkan di lantai.
Maklum ia tak punya meja. Terkadang jika
ada anak yang membeli baksonya, Siti ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia
terpaksa hanya menelan ludah, menahan keinginan itu. Setelah 4 jam
berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak saja! Kalau baksonya tak habis,
upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran seribuan lusuh berkali-kali
digulung-gulungnya.
Siti, meracik bakso dagangannya untuk para pembeli |
Sampai di rumah, Siti tak mendapatkan
siapapun. Ibunya jadi buruh mencangkul lumpur di sawah milik orang lain.
Tak setiap hari ia mendapat upah uang tunai. Terkadang ia hanya
dijanjikan jika kelak panenan berhasil ia akan mendapatkan bagi
hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti berlumur lumpur sampai setinggi
paha. Ia hanya bisa berharap kelak panenan benar-benar berhasil agar
bisa mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung.
Ia pergi ke rumah tetangganya, mengetuk pintu dan meminta ijin agar
boleh mengambil kangkung. Meski sebenarnya Siti bisa saja langsung
memetiknya, tapi ia selalu ingat pesan Ibunya untuk selalu minta ijin
dulu pada pemiliknya.
Setelah diijinkan, Siti langsung
berkubang di empang untuk memetik kangkung, sebatas kebutuhannya bersama
Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti menyerahkan 2000 perak yang
didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya. Lalu Ibunya memasak kangkung
hanya dengan garam. Berdua mereka makan di atas piring seng tua,
sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua hanya dengan kangkung
dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata Ibunda Siti.
Siti, memetik kangkung untuk lauk makan bersama ibunya. |
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang
sekolah menenteng beban berat keliling kampung, tiba di rumah tak ada
makanan. Kondisi rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu
lapuk, atapnya bocor sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah.
Dengan kondisi kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang
hingga petang hari.
Sering Siti
mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika anak-anak lain di kampung
mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang bekerja di kota, Siti suka
bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti sudah paham bahwa
ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke makam ayahnya, berdoa
disana.
Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang
pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti. Dengan
rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya. Disanalah
Siti bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan doa.
Dalam doanya Siti selalu memohon agar
dberi kesehatan supaya bisa tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti
sederhana saja : bisa beli sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab
miliknya sudah rusak.(cj.dtk)
0 komentar:
Posting Komentar